Inilah kurikulum ke-11 yang dipergunakan sekolah sejak Indonesia merdeka. Apakah Kkrikulum harus selalu berubah? Jika perubahan itu dalam rangka menjawab tantangan masa depan maka kontek pendidikan adalah bagaimana kurikulum dapat memperkuat kompetensi peserta didik menjadi manusia professional dan kompetitif.
Belakangan perbincangan mengenai kurikulum baru mengundang pro dan kontra.Ada yang menanggapi positif namun tidak sedikit yang berpandangan negatif.Apaalasannya? Pandangan yang positif justru kurikulum harus berubah agar mampu mengikuti perkembangan zaman. Kurikulum juga harus mampu menjawab tantangan masa depan sehingga dalam kontek pendidikan adalah bagaimana kurilulum dapat memperkuat kompetensi peserta didik menghadapi persaingan dan tantangan tersebut.
Sementara pandangan yang negatif lebih didasari pada realitas lapangan dimana perubahan kurikulum tidak saja berdampak pada PR baru dan kebingungan kalangan pelaksana terutama para guru namun juga implikasinya pada peserta didik. “Dengan KTSP saja belum selesai bingungnya, eh dirubah lagi dengan kurikulum yang baru” demikian ujar salah seorang guru di sebuah sekolah negeri.
Jika kurikulum 2013 itu diberlakukan akan menjadi kurikulum ke-11 yang dipergunakan sekolah sejak Indonesia merdeka. Kurikulum baru itu akan menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 yang dinilai memiliki banyak kelemahan. Pertama konten KTSP dianggap terlalu padat sehingga mata pelajaran sangat banyak dan materi yang diajarkan terlalu luas.Contohnya pada salah satu materi di pelajaran Ilmu Pemgetahuan Dosial (IPS) kelas 4 SD mengenai otonomi daerah di Amerika Serikat menjadi materi kuliah jenjang Strata 2(S2).
Kedua, KTSP tidak menyentuh kebutuhan kompetensi lulusan terkait dengan tuntutan dunia kerja.Ketigaurusan soft skill seperti character building(pembangunan karakter) dinilai tidak terakomodasi dalam KTSP.Padahal amanat UUD 1945 dengan jelas diarahkan pada pembentukan manusia Indonesia seutuhnya sehingga soft skill dan hard skill harus dibangun secara terintegrasi dan bersamaan. Keempat, KTSP dianggap membebani dan merepotkan guru, mereka diharuskan menyusun silabus. Padahal silabus yang baik hanya bisa disusun oleh guru yang kompeten. Guru lebih disibukkan dengan pekerjan-pekerjaan administratif dari pada mengembangan pembelajran secara kreatif dan inovatif.
Bagaimana dengan Kurikulum Baru?
“Ke depan, dibutuhkan kompetensi sumber daya manusia yang mampu berpikir global, cerdas, siap bekerja, namun memiliki kecerdasan hati, berkarakter mulia, dan nasionalisme. Kurikulum baru kelak akan mampu memenuhi kompetensi yang dibutuhkan itu”. Ujar Kemendikbud Pak Nuh”.
Konon salah satu nilai pluskurikulum baru di mana proses pembelajaran tidak lagi bertumpu pada guru saja.peserta didik diajak belajar berpikir kritis, melakukan riset, observasi dan bisa mempresentasi serta mengambil konklusi. Jadi tidak lagi hanya bertumpu pada aspek kognitif, tapi masuk juga pada pembentukan sikap, keterampilan,danpengetahuan. Khusus untuk SD, pendekatan yang dilakukan adalah pola tematik integratif dalam semua mata pelajaran di SD sementara SMP hingga SMA/SMK tetap dengan menggunakan mata pelajaran.Namun ada beberapa pertanyaan mendasar jika tematik integratif diberlakukan.“Akan terjadi pendangkalan sains jika materi IPA digabungkan”, papar praktisi fisika Yohanes Surya.menjadi persoalan. Ini karena materi IPA dan IPS rencananya tergabung dalam semua mata pelajaran. Jumlah jam belajar di SD juga dikurangi dari 10 menjadi enam mata pelajaran. Di SMP, dari 12 menjadi 10 mata pelajaran.
Di SMA diberlakulan mata pelajaran wajib dan pilihan.Di SMK fokus pada perkuatan keahlian. perubagahn sangat signifikan terjadi pada jenjang SD, kurikulum baru ini nyaris merombak keseluruhan sistem pembelajaran. Banyak pertanyaan apakah Ujian Nasional (UN) masih relevan? Apakah tidakmlebih baul UN dihapukan saja dan serahkan pada kebijakan local daerah? Hal lainyang menjadi fokus pembicaraan adalah persiapan guru. Masih perlu jalan panjang dan berliku dan jika proses sosialisasi dan pemantauan tidak berjalan optimal bias jadi perubahan kurikulum hanya menambah krusial pendidikan kita ynag tertinggal jauh dengan Negara jiran.
Pada jenjang SMA tidak lagi dibingungkan dengan penjurusan eksakta, sosial, maupun bahasa.peserta didik dibebaskan memilih pelajaran yang disukai,” kata Pak Nuh. “Alasannya, di lapangan untuk mencari kerja atau meneruskan pendidikan ke jenjang berikutnya tidak ada syarat berasal dari lulusan IPA, IPS, maupun bahasa.” Akhirnya semua kembali kepada para pelaksana pendidikan di lapangan. Ya uramanya para guru sang maestro dan arsitek pembelajaran. Guru harusmampu menciptakan pembelajaran yang mudah dan menyenangkan bagi para siswanya. Sebab apa dan bagaimanapun kurikulumnya jika guru tidak kreatif dan tidak berkarakter semua harapan tinggalah harapan. Hanya “the best teacher” –lah yang akan mampu melahirkan“ the best school”.Dengan demikian tidak lagi diperlukan label-label tertentu untuk menjadi sekolah “the best”.Apalagi MK sudah menisbikan RSBI dan SBI yang dinilai masyarakat justru hanya melahirkan “mahzab” liberalisasi dan kastanisasi pendidikan.
Wallahu a’lam bishawab.
Pardan Prasetyo, M. Pd/direktur GLC Indonesia